OPINI: POLEMIK BIMA-MBOJO DAN DOMPU Selamat Ulang Tahun Ke- 380 Bima-Mbojo 5 Juli 1640- 5 Juli 2020 -->
Cari Berita

Iklan 970x90px

OPINI: POLEMIK BIMA-MBOJO DAN DOMPU Selamat Ulang Tahun Ke- 380 Bima-Mbojo 5 Juli 1640- 5 Juli 2020

Monday, July 6, 2020

  1. Oleh:  Kasek SMPN 3 Woha, Suaidin, M.Pd.


G

BIMA, BIMA TODAY.- Bima dengan Dompu bahkan Bima sering dipolemikan dengan istilah Mbojo. Bima dan Dompu tidak perlu lagi dipolemikan keduanya ibarat dua orang berstatus saudara kandung, apalagi antara istilah Mbojo denga Bima adalah dua sebutan yang tidak bisa dipisahkan ibarat dua sisi mata uang. Coretan singkat ini sebenarnya muncul setelah menyimak diskusi sejarah yang terjadi dalam media sosial yang melibatkan beberapa orang budayawan, jurnalis dan netizen penggiat Sejarah dan Budaya. Topik yang menjadi bahan diskusi adalah adanya asumsi yang berbeda tentang asal muasal istilah Mbojo. Ada menganggap istilah Mbojo tidak termuat dalam data sejarah, bukan berasal dari kata babuju “tanah berbukit” itu bukan bahasa asli Bima dan muncul setelah adanya istilah Bima dan menganggap Mbojo berasal dari babuju adalah rekayasa budayawan terdahulu. Bima tetaplah nama agung untuk nomenklatur kerajaan dan suku. Dompu pun sebagai semesta sendiri sebagai suku yang tua dibanding Bima.

Alangkah menariknya jika bahasan di atas digeser ke forum ilmiah dengan menyuguhkan data-data akurat dan teori yang mendukung. Setelah menyimak pendapat Muslim Hamzah dengan akun Obima dalam sebuah status facebook yang dipostingnya tanggal 18 Juni 2020, pukul 10.38 yang mendapatkan jempol suka sebanyak 123 netizen dan 292 komentator; ada beberapa asumsi yang mungkin perlu ditinjau kembali:

Pertama, penulis ingin mengomentari aspek fonologi atau pengucapan kata babuju menurut Obima dengan posisi lidah pada langit-langit mulut dengan bibir terbuka perlu dilihat kembali. Untuk mengidentifikasi bunyi fonem tidak bisa langsung diklaim secara langsung per kata namun diidentifikasi dan disebutkan per fonem. Tampak fonem-fonem yang membentuk kata babuju bukan fonem palatal sehingga membunyikannya tidak ada hubungannya dengan langit-langit mulut, melainkan fonem bilabial (dwibibir) yang bunyinya dihasilkan oleh pertemuan dua bibir. Fonem b dan d dalam bahasa Mbojo (BMbj) terealisasi secara implosif dan eksplosif.

Kedua, ada beberapa asumsi asal mula istilah Mbojo: (1) Istilah Mbojo berasal dari bahasa Jawa yaitu Bojo yang berarti “kekasih, suami, atau istri”. Pendapat ini berdasarkan kisah Raja Sang Bima dahulu mempersunting isteri dari kawasan ini, saat dia kembali ke Jawa dia menyebut wilayah ini sebagai negeri Mbojoku (tempat asal istri) kemudian Sang Bima memanggil istri dengan sebutan Mbojo. Sebenarnya pendapat ini cukup mendasar dan dapat diterima berdasarkan fakta sejarah, hanya saja akan rancu dan menjadi lemah ketika benar ada asumsi bahwa Sang Bima datang ke tanah Mbojo setelah kehidupan sosial sudah terbentuk dan tertata dengan identitas Dou Mbojo; atau dengan kata lain Sang Bima datang setelah istilah Mbojo sudah ada.
(2) Asumsi lain bahwa istilah Mbojo sudah ada sejak zaman baheula (terdahulu); muncul seiring dengan kelahiran bahasanya dan memiliki arti tersendiri yang tidak terkait dengan bentuk geografis maupun legenda sejarah; kata Mbojo terbentuk oleh pengaruh tatabahasa kuno seperti kata: mbo-to, mbo-wo, mbo-ra, mbo-cu, mbo-u, mbo-nci, mb-ole dan sebagainya. Pendapat ini bertentangan dengan asumsi bahwa pemberian nama dengan istilah Mbojo berupa penegasan terhadap letak geografis Bima yang berbukit-bukit. Di sisi lain, anggapan bahwa Mbo-jo terbentuk begitu saja dengan arti tersendiri berdasar tatabahasa kuno seperti halnya kata: mbo-to, mbo-wo, mbo-ra, mbo-cu, mbo-u, mbo-nci, mbo-le. Asumsi ini menjadi lemah ketika dihadapkan dengan logika sejarah maupun konsep linguistik-semantik karena dasar dan makna apa yang muncul ketika bentuk Mbojo dipisah menjadi Mbo-jo (pembubuhan bentuk jo di akhir).
(3) Pendapat lain yang cukup menarik untuk dikaji bahwa “Mbojo bukan berasal dari kata babuju atau buju ’tanah berbukit’ dengan alasan tidak dapat diterima berdasarkan konsep linguistik vowel raising…”. Tulisan ini berasumsi bahwa sesungguhnya perkembangan bahasa tidak selalu dibatasi oleh sebuah konsep linguistik. Dengan kata lain konsep linguistik hanya sebagai pisau analisis yang membantu proses kajian terhadap perkembangan dan gejala bahasa sehingga atas gejala-gejala tersebut muncullah berbagai pengembangan teori. Gejala atau perkembangan bahasa, misalnya kata “saudara’berasal dari sa + udara yang bermakna satu+ perut= satu perut/sekandung; sejak awal konsep linguistik tidak pernah menebak akan terjadi perubahan (meluasnya) makna kata tersebut, tetapi kenyataannya terjadi perluasan pemakaian kata tersebut sehingga munculah teori tentang perluasan, penyempitan, atau pergeseran makna kata. Untuk sebutan nama diri dalam bahasa Mbojo, misalnya dari nama diri Abu Bakar berubah menjadi Baka/Beko, Abdullah menjadi Dola atau Dole, Ibrahim menjadi Bai/ Boa, Hasan menjadi Hasa/Heso. Dengan gejala tersebut ternyata faktor ekstralinguistik yang memengaruhi (nilai-makna) dan perubahan bentuk nama diri tersebut dapat dikaji dengan konsep korespondensi bunyi (fonologi); terjadinya perubahan yang konsisten antara vokal dengan vokal.

Perihal perubahan kata babuju/ buju menjadi Mbojo tampaknya akan mendekati pada suatu konsep linguistik korespondensi bunyi sebagai pisau analisisnya. Linguistik Diakronis-linguistik historis Komparatif dalam membanding jejak kata masa lalu dan kini mengenal adanya teori korespondensi. Perubahan dari vokal ke vokal dan konsonan ke konsonan biasa saja terjadi dalam perkembangan bahasa. Bentuk Babuju atau bentuk dasarnya buju menjadi Mbojo penulis asumsikan dapat saja terjadi melalui perubahan vokal u menjadi vokal o dan terjadi penambahan fonem mb di depan. Fonem mb adalah fonem yang sangat produktif dan terpelihara dalam BMbj seperti dari kata: bo’o “merobohkan’ menjadi mbo,o “roboh”, beca ‘membasahkan’ menjadi mbeca ‘basah’, bisa ‘ memutuskan’ menjadi mbisa ‘ terputus’, bi’a ‘membelah’ menjadi mbi,a ‘terbelah’ tando mbari berubah menjadi tambari bermakna “ menoleh ke belakang” wari menjadi mbari; wari dan mbari (berdampak timbal-balik) seperti pada tuturan : na wariku ba nggahi sehingga berdampak mbari ‘timbal balik/dampak dari perkataan. Sama halnya dengan asal-muasal istilah Dompu. Tertuang di dalam buku Nagarakertagama dari Prapantja (1365) oleh Prof. Dr. Kem dan Dr. N.J Krom tulisan Dompo (tidak ditulis seperti biasanya dengan Dompu). Korespondensi antara vokal dengan vokal seperti yang terjadi seperti istilah Buju menjadi Mbojo dan Dompo menjadi Dompu biasa terjadi menurut konsep linguistik. Dengan demikian, kata Mbojo secara historis maupun konsep linguistik kuat dugaan berasal dari bentuk buju “tanah berbukit” seperti apa yang diasumsikan budayawan terdahulu. Dana Babuju/buju “ tanah berbukit” yang kemudian menjadi Dana Mbojo berupa penegasan terhadap letak geografis Bima yang berbukit-bukit; tanah berbukit tempat ncuhi ataupun sang raja melaksanakan musyawarah penting saat itu.

Ketiga, Mbojo atau Bima yang tepat menjadi nomenklatur? Kedua istilah dianggap tidak perlu untuk dipolemikan berkepanjangan karena tergantung pisau analisis. Apakah hendak dianalisis secara historis atau secara politis-adminitratif ? Keduanya diterima berdasarkan sejarah dan telah direkomendasikan dalam sebuah bentuk apresiasi politis menjadi Kabupaten Bima (bukan kabupaten Mbojo) dan secara historis sudah diapresisasi dan menjadi kesepahaman Mbojo sebagai suku; terealisasi dengan pengakuan dalam tindak tutur misalnya: nggahi Mbojo, janga Mbojo, garoso Mbojo, dou Mbojo, ndai Mbojo,rawa Mbojo, palumara Mbojo, piso Mbojo,patu Mbojo termasuk di Dompu memakai nggahi Mbojo seperti ungkapan: nuntu mbojo mpa anaee loaku ka,ao “ pakai bahasa Mbojo saja nak,supaya saya bisa paham” padahal penutur itu orang Dompu dan tidak pernah muncul tuturan : nuntu dompu mpa anaee loaku ka ao ‘ pakai saja bahasa #Dompu nak supaya saya bisa paham”. Perlu disadari bahwa penggunaan istilah Mbojo sudah menjadi kesepahaman oleh masyarakat umumnya. Ketika ada orang lain yang menyatakan dou Mbojo dou ringu ncau ‘ Orang Bima semua gila’ tentu merasa tersinggung, mengapa? Karena orang Mbojo yang disebutkan sudah dipahami dan diakui sebagai kita yang dituju. Ketika persebi bermain dengan lawan dari luar yang lantang berteriak memberikan dukungan adalah keluarga Dompu, ketika orang lain yang hendak menganggu orang Dompu yang marah dan tersinggung juga adalah dou Mbojo, hal ini karena magnetisitas kesukuan yang sudah melekat.

Keempat, Mengapa tidak diberi nomenklatur Kabupaten Mbojo justru Kabupaten Bima?
Inilah pentingnya membatasi ruang lingup bahasan. Hendak dibahas secara politis atau secara Historis? Analogi pertanyaan yang sama mengapa tidak diberi nomenklatur Kabupaten Sasak, Kabupaten Samawa? Justru muncul kabupaten Lombok ( Timur, Tengah, Barat, Utara, Mataram) dan Kabupaten Sumbawa. Walau berbeda dalam tataran politis namun satu dalam tataran kesukuan yaitu suku Sasak, suku Samawa, Mbojo (SASAMBO). Tampaknya hal penyebutan ini diikat oleh kesamaan garis genealogi, kebudayaan dan bahasa.

Ada yang berasumsi bahwa seharusnya dilabeli nomenklatur Bima bukan Mbojo dengan alasan karena Bima termuat dalam data sejarah; dan berasumsi Mbojo adalah istilah baru. Keduanya masing-masing bernilai sejarah dan tidak boleh dipolemikan. Istilah Mbojo diambil dari istilah Buju yang berarti “tanah berbukit” tempat leluhur bermusyawarah segala hal untuk dana Mbojo dan diangggap istilah yang lebih awal membudaya dalam tuturan dou Mbojo. Istilah Bima muncul setelah Sang Bima putra maharaja Pandu Dewata datang ke Mbojo dalam melakukan pembaharuan dan menyatukan para ncuhi. Namun perlu diingat bahwa sebelum kedatangan sang Bima kehidupan sudah tertata dalam kelompok sosial; berada pada zaman naka dan ncuhi yang terikat dalam sebutan dou Mbojo.

Kelima, Mbojo itu di Rasana,e (sekarang di Kota Bima)?Tidak bisa dipungkiri fakta sejarah bahwa sentral kekuasaan saat itu ada di wilayah rasana,e, kampung Dara dan sekitaran tempat kediaman sang raja yang identik dengan sebutan Mbojo. Orang Sila ketika hendak pergi sekitaran Rasana,e (sekarang masuk wilayah Kota Bima) pasti menyebutnya “nahu kulao ipa Mbojo “ oleh orang Kae juga menyebut nahu kulao ari Mbojo yang sama-sama bermakna “saya akan (pergi) ke Mbojo (sekarang wilayah Kota Bima) “ padahal Sila dan Kae itu bagian dari Mbojo juga. Mbojo mana yang dituju? Itulah sekitaran Rasana,e yang kebetulan wilayah sentral kekuasaan, sekitar dana babuju “tanah berbukit” yang disinyalir asal-muasal kata Mbojo.
Sama halnya di Bolo (Sila), oleh orang Rade, Dena dan sekitarnya ketika hendak pergi ke sekitar pasar Sila menyebutnya “ nahu kulao balanja ele Sila “saya pergi ke Sila”; oleh orang Sondosia, Nggembe juga menyebutnya sama “nahu kene,e lao balanja ese Sila “ Saya mau pergi belanja di Sila’ padahal wilayah-wilayah itu ( Rade, Dena, Sondosia, Nggembe) juga termasuk wilayah Sila. Sila manakah yang dimaksud? Tentu Sila yang berada di wilayah kekuasaan (sekitar pasar Sila). Pemberian nama sekolah, misalnya SDN 1 Sila, SDN 2 Sila, SDN Sila 4, SDN Sila 5 dan lainnya hanya di sekitar wilayah Sila sebagai sentral kekuasaan (Wallahualam mungkin sekolah-sekolah tersebut lebih awal didirikan).

Berdasarkan rentetan uraian di atas, tampaknya antara Bolo dan Sila, Woha dan Kae, Lombok dan Sasak, Sumbawa dan Samawa dan termasuk yang diperdebatkan adalah Bima dan Mbojo perlu dipandang dengan kacamata yang berbeda. Tampak kekuasaan atau wilayah kekuasaan memengaruhi tentang sebuah nama. Jarang disadari, misalnya penyebaran istilah “kabupaten” yang berlaku untuk hampir seluruh daerah di Indonesia. Padahal istilah “kabupaten” tidak bisa diuraikan secara morfologis, kata dasarnya apa dan mendapatkan afiks apa? Kenyataannya kita pakai dalam penyebutan untuk daerah; sebuah fakta bahasa yang diklaim sebagai pengaruh Majapahit yang menguasai sampai pelosok Indonesia.

Keenam, Dompu disemestakan jadi suku tersendiri? Ketika ada pihak yang menginginkan pemisahan Dompu sebagai suku tersendiri (pemisahan dari suku Mbojo) dapat saja terjadi. Namun perlu dipahami pula bahwa beberapa pendapat ahli seperti Fredick Bart, Koentjaningrat dan juga termuat dalam KBBI bahwa suku itu ditandai dengan kesamaan garis genealogi, kesamaan budaya dan kesamaan bahasa. Jejak genealogi Mbojo dan Dompu adalah satu garis keturunan, budaya yang sama dengan menggunakan bahasa yang sama. Ditinjau dengan pendekatan migrasi bahwa separuh penghuni yang mendiami wilayah Dompu adalah masyarakat yang berasal dari Mbojo yang dulunya mengalami perpindahan tempat tinggal, sehingga nama-nama wilayah seperti desa atau kampung yang ada di Dompu ditempati dan diberi nama dengan nama yang ada di Kabupaten Bima, seperti Kampung: Ngali, Ncera, Monta, Simpasai, Bolo Baka, Tangga, Sie, Woro, Campa, O’o (berasal dari Donggo-Bima) dan sejumlah kampung lainnya. Aspek bahasa, setakat ini mulai dari Sape, Dompu sampai Tambora tidak tampak pemakaian bahasa yang berbeda atau dengan kata lain semua menggunakan bahasa Mbojo dalam komunikasi; hanya ditemukan perbedaan dialek (bukan bahasa) yang dipetakan menjadi empat dialek yaitu: Wawo (Sambori disekitarnya), Kolo (di Kolo), Serasuba (wilayah realisasi kota Bima, Dompu sampai Tambora), dan Sanggar (Taloko). Pengunaan istilah bahasa Dompu, Donggo, bahasa Sai, bahasa Sape yang selama ini kerap terucap adalah sesat ucap karena tidak ada perbedaan bahasa; hendaknya diubah dengan istilah dialek Wawo, Kolo, Sanggar dan Serasuba. Apakah bahasa Mbojo terpetakan hanya empat dialek ini saja? Temuan dan penelitian lanjut sangat diharapkan dengan dukungan teori dan data bahasa yang akurat. Berdasarkan apa yang dikemukan di atas tampak bahwa antara Mbojo dan Dompu satu suku. (*)