Kalsom Yakub.
BIMA, BIMA TODAY.--- Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bima, diduga sebagai 'mafia tanah'. Karena BPN dengan secara sepihak menerbitkan sertifikat pada warga.
Pasalnya, di area tersebut, ada oknum Pemdes memiliki sertifikat tetapi tidak memiliki lahan. "Ini merugikan kita selaku pemilik lahan di lokasi setempat,"jelas Kalsom, warga RT 17, RW 05, DesaTambe, Kecamatan Bolo, pada wartawan Selasa (22/06/2021).
Dikatakannya, pembangunan relokasi rumah yang terdampak banjir di So Lante, Desa Tambe, Kecamatan Bolo, yang ada lahan kami. “Lahan kita masuk di area pembangunan relokasi rumah dampak banjir, tapi tidak mendapat pemberitahuan awal dan lahan tersebut ditimbun tanpa ada konfirmasi,” ujarnya.
Mestinya, pihak BPN tidak serta menerbitkan sertifikat program LC, akan tetapi wajib hukumnya meminta kejelasan soal asal usul tanah. “Kalau tanah sumbernya harta warisan, harus ada surat warisan, jika tanah tersebut dibeli, wajib bagi orang yang mengajukan pembuatan sertifikat menunjukan akta jual beli dan jika tanah tersebut dihibahkan, harus menunjukan surat hibah. Semua itu tidak dilakukan oleh BPN, sehingga kita menduga ada konspirasi antara Pemdes setempat dan BPN,”sesalnya.
Salah satu bukti kecerobohan pihak BPN dalam menerbitkan sertifikat tersebut, kata Kalsom, awalnya kita memiliki sertifikat tanah seluas 51,3 are atas nama Yakub Mustakim selaku orang tua kandungnya.
Setelah ada program LC tahun 2010 lalu, tanah tersebut dipisah menjadi tiga bagian. Sehingga total lahan setelah dipotong 20 persen untuk fasilitas umum seluas 30 lebih are.
Menjadi permasalahannya, muncul sertifikat atas nama Endang Wati adik kandung saya, yang sebelumnya tidak pernah mengajukan pembuatan sertifikat, apalagi menandatangani berita acara dan lainnya.
“Di sertifikat tersebut Endang Wati disebut sebagai pihak yang menunjuk batas – batas tanah. Padahal Endang Wati tidak tahu menahu terkait masalah sertifikat tersebut,” jelasnya.
Adik kandung Kalsom, Endang Wati membenarkan dirinya tidak ada konfirmasi soal sertifikat tersebut, sehingga merasa kaget karena namanya sebagai pemilik sertifikat pada program LC.
“Kita memang memiliki tanah di So Lante dan di sertifikat awal seluas 51,3 are atas nama bapaknya Yakub Mustamin. Tapi setelah dipisah melalui program LC, luas tanah tinggal 30 are lebih,” ucapnya.
Disesalkannya, dirinya disebutkan sebagai penunjuk batas – batas di sebuah sertifikat tersebut, padahal realitanya tidak tahu soal itu. “Kami menduga ada konspirasi terselubung terkait program LC, buktinya banyak oknum yang tidak memiliki lahan mendapat sertifikat kepemilikan tanah di So Lante,” sesalnya.
Lebih jelas sebut Endang Wati, sebagian tanah kita masuk di area relokasi rumah dampak banjir dan sudah ditimbun untuk pembangunan proyek Rp 36 miliar tersebut. Menjadi pertanyaan kita, kenapa saya tidak ada konfirmasi sama sekali, padahal memiliki tanah sekaligus sertifikat yang diterbitkan oleh BPN melalui program LC.
“Kegiatan pembangunan relokasi rumah dampak banjir harus dihentikan dulu. Karena diduga BPN sebagai mafia tanah berikut masih banyak yang harus diselesaikan sehingga tidak berpolemik,” pungkasnya. (BT01).