Suaidin, M. Pd.
(Kepala SMPN 3 Woha, Alumni Pascasarjana Bahasa Indonesia Unram)
BIMA, BIMA TODAY.--- Seiring dengan perkembangan teknologi sering pula diikuti dengan terjadinya berbagai permasalahan yang melawan hukum terutama dalam penggunaan media elektronik. Amat banyak kasus hukum yang menimpa para pengguna media elektronik, salah satunya adalah kasus kejahatan berbahasa. Pelaku kejahatan berbahasa tidak hanya masyarakat awam tetapi juga kaum intelektual, pegawai negeri, aktivis, politisi, anggota DPR, artis bahkan tokoh-tokoh nasional ternama di negeri ini. Tulisan ini akan menguraikan beberapa data dan analisis tentang kejahatan berbahasa di media elektronik terutama dalam penggunaan media sosial. Namun sebelumnya akan diuraikan terlebih dahulu tentang istilah kejahatan berbahasa.
Kejahatan berbahasa (language crime) adalah kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan bahasa. Kejahatan berbahasa dalam bentuk lisan dan tulisan banyak ditemukan dalam media elektronik, seperti WhatsApp, Line, SMS, Facebook, Instagram, dan jenis lainnya yang mengarah pada tindakan melawan hukum berupa ujaran kebencian, berita bohong (hoaks), ajakan/hasutan, konspirasi, sumpah palsu, ancaman, dan penyuapan. Kejahatan berbahasa yang sering dijumpai terutama di media sosial adalah defamasi (pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan/penistaan); pelaku sengaja menyerang harga diri, nama baik, atau kehormatan seseorang di muka umum sehingga orang yang diserang umumnya merasa malu, tercederai, dan reputasinya jatuh di muka umum. Selain media elektronik, kejahatan berbahasa juga sering ditemukan juga dalam media nonelektronik seperti baliho, surat, poster, spanduk, dan lain-lain.
Kejahatan berbahasa baik lisan maupun tulisan memiliki dampak hukum dan dapat merugikan orang lain seperti membunuh karakter, merusak reputasi atau nama baik, menyerang kehormatan, membuat orang lain merasa malu, membuat keonaran publik dengan informasi palsu atau propaganda, menciptakan ketakutan karena tindakan pengancaman atau ancaman kekerasan. Kejahatan berbahasa melalui media elektronik diatur dalam undang-undang informatika dan transaksi elektronik (ITE) pasal 28 ayat (2) “ setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA); sedangkan kejahatan berbahasa secara nonelektronik diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) pasal 311 (penistaan), 207 (penghinaan, ujaran kebencian), pasal 45 ayat 1 UU nomor 19 tahun 2016 ( muatan melanggar kesusilaan) dan beberapa pasal lainnya.
Bagaimana dengan adanya regulasi yang melindungi dan menjamin hak kebebasan berpendapat (freedom of speech) seperti yang diatur secara spesifik dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945? Memang benar setiap orang memiliki hak untuk berpendapat secara lisan maupun tertulis, baik melalui media cetak maupun media elektronik, namun kebebasan berpendapat tidak berarti kebebasan berbahasa; bebas berpendapat dan bebas berbahasa adalah dua hal yang berbeda; berpendapat berkaitan dengan penyampaian isi berupa ide, gagasan, kritik dan tanggapan sedangkan berbahasa berkaitan dengan keterampilan menggunakan “alat” yang bernama bahasa untuk menyampaikan isi; alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi . Bahasa sebagai alat komunikasi dan berinteraksi tentu di dalamnya memiliki aspek-aspek termasuk aspek etika dan nilai (value).
Logika hukum sudah memberikan perimbangan antara hak berpendapat dan berakspresi dengan hak orang lain untuk dihormati dan dihargai hak asasinya, seperti yang tertera dalam pasal 28G ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “ setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi” (https://www.mkri.id ) .
Berdasarkan uraian di atas kebebasan berpendapat berarti kita diberikan ruang seluas-luasnya untuk menyampaikan pendapat (ide, gasasan, kritik dan tanggapan) tetapi harus memerhatikan nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara serta tunduk pada hukum yang berlaku. Berikut beberapa kasus kejahatan berbahasa, baik yang disampaikan secara lisan (tuturan) maupun secara tertulis dalam media elekronik yang pernah dilaporkan dan ditindaklanjuti di kepolisian. Beberapa kasus berikut ada yang ditindaklanjuti dengan sanksi hukum dan ada yang diselesaikan dengan permohonan maaf oleh pelaku kejahatan berbahasa.
Kasus kejahatan berbahasa yang bersifat penghinaan oleh akun facebook Erma Sulistia Ningsih dengan menyerang kelompok etnis Donggo yang dilaporkan ke Mapolres Bima, 24 Juli 2019 (https:// www.visonerbima.com) . ESN mengunggah di facebooknya dengan menggunakan bahasa daerah (Mbojo): Dou Donggo mpa ma mpa’a tunti status dei fb eee, na hari kaiku ba lako “hanya orang Donggo yang pasang status di fb, diketawai anjing”. Kalimat tersebut dikategorikan kalimat setara hubungan sebab-akibat. (1) Dou Donggo (subjek)- mpa (pewatas)- ma (pemarkah), mpaa tunti (predikat), status (objek) dei fb (Ket). (2) na hari kaiku ba lao “(akibatnya/akan) diketawai anjing”. Bentuk na dalam klausa na harikaiku ba lako adalah bentuk anaforik merujuk pada kalimat sebelumnya yaitu Dou Donggo ma mpaa tunti status dei fb; selain itu bentuk na bermakna “akan/akibatnya” (futuratif). Secara semantik postingan ESN bermakna “ Orang Donggo memiliki kebiasaan yang menunjukkan “keawaman” (merendahkan) dan ketika Orang Donggo memasang status facebook diketawai anjing padahal masyarakat lain juga bermain status di facebook; bentuk mpa ‘hanya/saja” secara jelas mengacu ke Orang Donggo.
ESN dianggap menghina dan menyerang kelompok etnis dengan menyebutkan Dou Donggo ”orang Donggo” sebagai pembanding negatif. Donggo sebagai Suku (kecamatan) di wilayah Kabupaten Bima tentu di dalamnya terdapat kelompok masyarakat yang dikenai (dihina dan direndahkan) oleh bahasa unggahannya; di akhir kalimat tersebut terdapat kata lako ‘anjing’ yang secara semantik bermakna bahwa orang Donggo diketawai anjing.
Kasus akun facebook Ovin Wulandari dilaporkan ke Polres Kota Bima (30-7-2020) oleh IDI, PPNI dan IBI Kota dan Kabupaten Bima karena menghina tenaga kesehatan dengan bahasa kasar, kotor dan berbau pornografi; cacian sampai melontarkan kata-kata berkenaan dengan alat vital perempuan dan laki-laki. OW mengunggah tulisan dalam facebooknya berlokasi di RSUD Bima dengan menggunakan bahasa daerah:
“ Bidan lako,perawat setan, dokter bote, ba nggahimu kambujamu oi **** ra oi ***mu corona sae nahu mane’er nggana lako mpoi eh kurasih pitire ngoa loak lao landa **** arake d paha bocu kai isi pahu nggomi dohore sato;i2 corona nari pana ro mancoro corona puiii bote mpoi ma mango **** ra *** kemai. Labo sa’e nahu ma negative nggahi lalop sadoho positif covid 19. Kurasi pitire ede ake ngoa aina kandede masyarakat kecil. Labo daneena ncara re bote mpoi esere (http://ntb.inews)
“Bidan anjing, perawat setan, dokter monyet, yang menuduh oi****ra oi***corona kakak saya yang mau melahirkan anjing semua. Eh..kalau kekurangan uang kasih rahu supaya saya jual****agar kalian kenyang..mukamu, sedikit-sedikit corona, sedikit saja panas dan flu Corona monyet semua yang kering****ra ***. Kakak saya negatif dibilang positif covid 19. Kalau kurang uang dan sesuatu kasih tahu saja jangan begitukan masyarakat kecil. Tidak merasa bersalah lagi monyet semua, (tanda bintang kata berbau seksual/ alat vital).
Apa yang diunggah Ovin Wulandari dengan Bahasa Mbojo tersebut benar-benar telah mencemarkan nama baik, menghina, merendahkan, dan mencaci para tenaga medis dengan bahasa kotor dan keji yang melanggar kesusilaan. Diksi anjing, setan, monyet, mukamu, monyet semua dan kata-kata kotor berbau porno diarahkan ke tenaga medis. OW secara jelas telah menyerang kelompok profesi.
Kasus Ahmad Dhani dalam video blognya dianggap dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentranmisikan dan/atau membuat di aksesnya informatika, eletronik dan/atau dokumen elektonik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pemcemaran nama baik. Ahmad Dhani dianggap menghina dan merendahkan anggota Koalisi Bela Negara dengan ujaran dalam videonya “ ini yang mendemo, yang demo ini yang membela penguasa, lucu, lucu ini, ini idiot-idiot, idiot-idiot ini. Mendemo, mendemo orang tidak berkuasa (https://nasional.tempo.co) . Kata kunci yang menyeret Ahmad Dhani dianggap menghina dan merendahkan adalah dengan diksi “idiot-idiot” yang ditujukan kepada demontran Koalisi Bela Negara. Idiot/idi-ot/ bermakna taraf (tingkat) kecerdasan berpikir yang sangat rendah (IQ lebih kurang 25), daya pikir lemah sekali (KBBI Online).
Kasus kejahatan berbahasa yang bersifat penghinaan dan penistaan yang menghebohkan yaitu dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama (Ahok) pada September 2016. Ahok dalam ujarannya yang sempat juga divideokan menuturkan:
“ Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu ngak bisa pilih saya ya kan? Dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu ya. Jadi kalau Bapak-Ibu perasaan nggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, nggak apa-apa, (https://www.bbc.com.)
Menurut penulis bahwa tuturan Ahok di atas adalah berupa respon dari konteks terdahulu sebelum tuturan itu; bahwa ada yang menyampaikan Al-Maidah 51 sehingga muncul klausa “ jadi jangan percaya sama orang”.Klausa kunci terjadinya penistaan terdapat pada tuturan “Dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu”. Berdasarkan kaitan beberapa klausa di atas terdapat hubungan antara kata “dibohongi” dengan “Al- Maidah 51”. Kata “jangan percaya sama orang, dibohongi, dibodohin yang mengarah ke “ Al-Maidah 51. Secara semantik dengan menggunakan kata “pakai” bermakna Al-Maidah 51 dianggap sebagai “alat” untuk berbohong-membohongi-membodohi atau sumber kebohongan dan kebodohan. Mengapa diklaim sebagai penistaan agama? Al-Maidah 51 bagian surat di Al-Quran tentu ada umat yang menyakininya sebagai kitab suci yaitu umat Islam; menista Al-Maidah 51 berarti menista Quran, Islam dan seluruh umatnya.
Selain mengarah ke penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, memprovokasi, pengancaman, ujaran kebencian kejahatan berbahasa juga terjadi pada tindakan konspirasi, penyuapan dan korupsi. Kasus Penyidikan pada rekaman suara hasil percakapan telepon tersangka kasus korupsi Artalyta Suryani dan Jaksa Urip Tri Gunawan terkait suap BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) pada tahun 2007 silam (https://www.hukumonline.com/).
Dalam rekaman percakapan antara Artalyta dan Jaksa Urip yang disadap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ditemukan beberapa kata kunci yang menunjukkan bahwa terdapat adanya tindakan suap, seperti kata "bonus". Kata bonus tersebut mengarahkan adanya kerjasama dan proses tawar-menawar berapa jumlah total uang yang akan diterima oleh Jaksa Urip dari tersangka Artalyta.
Berdasarkan data dan analisis beberapa kasus kejahatan berbahasa di atas menunjukkan bahwa tindakan melawan hukum baik secara lisan maupun tertulis dapat dianalisis melalui penggunaan bahasa. Hamidi dalam “Linguistik Forensik” menyiratkan bahwa kejahatan bisa muncul sejak dari penggunaan bahasa.
Setakat ini untuk proses investigasi, penegakan hukum dan keadilan di Indonesia kepolisian tidak lagi berjalan sendiri tetapi membutuhkan tenaga ahli seperti ahli seperti ahli information technology (IT) dan ahli bahasa (linguis). Proses Investigasi korupsi misalnya dapat dilakukan dengan menggunakan analisis aspek-aspek yang terdapat pada ilmu linguistik forensik. Lingustik forensik (Forensic Linguistics) merupakan cabang dari linguistik yang menganalisis dan meneliti tentang kebahasaan yang digunakan sebagai alat bantu pembuktian di peradilan dan bidang hukum.
Referensi
Hamidi, Ahmad. 2020. “Linguistik Forensik”. Majalah Tempo, Desember, Jakarta.
“Mahsun (2018). Linguistik Forensik Memahami Forensik Berbasis teks dengan Analogi DNA. Depok: Rajawali Pers.
“Perdana Herlambang. “ Kebebasan Berekspresi, Penelusuran Dalam Konstitusi Indonesia”. Jurnal Konstitusi, Vol 6, No.1 tahun 2009.
Sholihatin. 2019 Linguistik Forensik dan Kejahatan Berbahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
https://kahaba.net/berita-bima/79700/diduga-menghina-di-medsos-warga-sondosia-diamankan-polisi.html
https://www.visionerbima.com/2019/07/oknum-perawat-cantik-ini-dihujani.html?m=1
https://ntb.inews.id/berita/hina-nakes-dimedsos-pakai-bahasa-bima-pemilik-akun-inidilaporkan-ke-polisi
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-37996601
https://nasional.tempo.co/read/1198488/kasus-kata-idiot-ahmad-dhani-dituntut-15-tahun-penjara
---------
Undang-Undang nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (***)